Hujjah Ahlussunnah wal Jama'ah Tentang Tauhid Bagian 2
Ulama Maroko dan Wahhabi Tuna Netra
Al-Hafidz Ahmad bin Muhammad bin
ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani adalah ulama ahli hadits yang terakhir
menyandang gelar al-Hafidz (gelar kesarjanaan tertinggi dalam bidang ilmu
hadits). Ia memiliki kisah perdebatan yang sangat menarik dengan kaum Wahhabi.
Dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar, sebuah autobiografi yang melaporkan
perjalanan hidupnya, beliau mencatat kisah berikut ini:
“Pada tahun 1356 H ketika saya
menunaikan ibadah haji, saya berkumpul dengan tiga orang ulama Wahhabi di rumah
Syaikh Abdullah ash-Shani’ di Mekkah yang juga ulama Wahhabi dari Najd. Dalam
pembicaraan itu, mereka menampilkan seolah-olah mereka ahli hadits, amaliahnya
sesuai dengan hadits dan anti taklid. Tanpa terasa, pembicaraan pun masuk pada
soal penetapan ketinggian tempat Allah subhanahu wata‘ala dan bahwa Allah
subhanahu wata‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai dengan ideologi Wahhabi.
Mereka menyebutkan beberapa ayat al-Qur’an yang secara literal (dzahir)
mengarah pada pengertian bahwa Allah subhanahu wata‘ala itu ada di atas ‘Arasy
sesuai keyakinan mereka.
Akhirnya saya (al-Ghumari) berkata
kepada mereka: “Apakah ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi termasuk bagian
dari al-Qur’an?”
Wahhabi menjawab: “Ya.”
Saya berkata: “Apakah meyakini apa
yang menjadi maksud ayat-ayat tersebut dihukumi wajib?”
Wahhabi menjawab: “Ya.”
Saya berkata: “Bagaimana dengan
firman Allah subhanahu wa ta‘ala: Apakah ini termasuk al-Qur’an?”
Wahhabi tersebut menjawab: “Ya,
termasuk al-Qur’an.”
Saya berkata: “Bagaimana dengan
firman Allah subhanahu wata‘ala: “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga
orang, melainkan Dia-lah keempatnya….” (QS. al-Mujadilah ayat 7). Apakah
ayat ini termasuk al-Qur’an juga?”
Wahhabi itu menjawab: “Ya, termasuk
al-Qur’an.”
Saya berkata: “(Kedua ayat ini
menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata‘ala tidak ada di langit). Mengapa Anda
menganggap ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi yang menurut asumsi Anda
menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata‘ala ada di langit lebih utama untuk
diyakini dari pada kedua ayat yang saya sebutkan yang menunjukkan bahwa Allah
subhanahu wata‘ala tidak ada di langit? Padahal kesemuanya juga dari Allah
subhanahu wata‘ala?”
Wahhabi itu menjawab: “Imam
Ahmad mengatakan demikian.”
Saya berkata kepada mereka: “Mengapa
kalian taklid kepada Ahmad dan tidak mengikuti dalil?”
Tiga ulama Wahhabi itu pun terbungkam.
Tak satu kalimat pun keluar dari mulut mereka.
Sebenarnya saya menunggu jawaban
mereka, bahwa ayat-ayat yang saya sebutkan tadi harus dita’wil,
sementara ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata‘ala ada
di langit tidak boleh dita’wil.
Seandainya mereka menjawab demikian,
tentu saja saya akan bertanya kepada mereka, siapa yang mewajibkan
menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan dan melarang menta’wil ayat-ayat
yang kalian sebutkan tadi?
Seandainya mereka mengklaim adanya
ijma’ ulama yang mengharuskan menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan
tadi, tentu saja saya akan menceritakan kepada mereka informasi beberapa
ulama seperti al-Hafidz Ibn Hajar tentang ijma’ ulama salaf untuk tidak
menta’wil semua ayat-ayat sifat dalam al-Qur’an, bahkan yang wajib harus
mengikuti pendekatan tafwidh (menyerahkan pengertiannya kepada Allah
subhanahu wata‘ala).”
Demikian kisah al-Imam al-Hafidz Ahmad
bin ash-Shiddiq al-Ghumari dengan tiga ulama terhebat kaum Wahhabi.
Kami tidak menaggapi masalah ulama taqlid kepada imam Ahmad, cerita ini dapat di pastikan dusta atau di buat-buat oleh penulis karena tidaklah mungkin ulama besar taqlid kepada seorang ulama yang tidak ma’sum, sementara dalam kitab mereka dan kajiannya ulama tersebut menekankan kepada para penutut ilmu tidak boleh taqlid kepada siapapun yang tidak ma’sum kecuali hanya kepada Rasulullah, jadi sekali lagi hal ini tidak perlu jadi parameter kebenaran, dan yang dapat menjadikan parameter adanya sanad yang di percaya .
BalasHapusSesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak Mengetahui. (QS. An-Nur : 19)
BalasHapusAllah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” (Al-Hujurat : 12)
Larangan dari hadis
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَتَدَابَرُوا وَلاَتَبَاغَضُوا وَكُوْنُواعِبَادَاللَّهِ إحْوَانًا
“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.”(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari hadis no. 6064 dan Muslim hadis no. 2563)
Perkataan Ulama Salaf tentang Tajassus
Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata,
(( ولا تظنَّنَّ بكلمة خرجت من أخيك المؤمن إلاَّ خيراً، وأنت تجد لها في الخير مَحملاً ))
“Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik.”(Rifqan Ahlu as-Sunnah bi Ahli as-Sunnah, halaman 10)
Judul antum salah seharusnya jangan hujjah ahlusunnah wal jama'ah, yang benar hujjah ahlussunah adalah dalil al-Qur'an, as-sunnah shahihah, yang di pahami oleh shalafush shaleh kalangan shahabat, tabi'in tabi'ut ulama imam madzhab hanafi, maliki, syafi'ie dan hambali.......apa lagi tentang tauhid, jadi ini bukan tauhid tapi berita masalah sifat bagi Allah masuk katagori Aqidah gitu... loh...!!!
BalasHapus