Hujjah Ahlussunnah wal Jama'ah Tentang Tauhid Bagian 6
Ta’wil Imam Ahmad bin Hanbal
Ta’wil tehadap teks-teks mutasyabihat telah
dilakukan oleh para ulama salaf, diantaranya Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad
bin Hanbal, dan lain-lain. Akan tetapi kaum Wahhabi seringkali mengingkari
fakta-fakta tersebut dengan berbagai macam alasan yang tidak ilmiah dan selalu
dibuat-buat.
Seorang teman saya, berinisial AD
menceritakan pengalamannya ketika berdialog dengan AM, tokoh Wahhabi kelahiran
Sumatera yang sekarang tinggal di Jember. AD bercerita begini:
“Sekitar bulan Maret tahun 2010 lalu,
saya mengikuti suatu acara di Jakarta Selatan. Acara tersebut diadakan oleh
salah satu ormas Islam di Indonesia. Dalam acara itu, ada seorang pemateri
Wahhabi yang berasal dari Sumatera dan saat ini tinggal di Jember. Diantara
materi yang disampaikannya adalah persoalan ta’wil. Dalam pandangannya, ta’wil
atas ayat-ayat mutasyabihat tidak boleh dilakukan. Sehingga dengan asumsi
demikian, ia meyakini bahwa Allah subhanahu wata‘ala itu bertempat atau berada
di atas ‘Arsy. Dia menggunakan ayat “ar-Rahman ‘ala al-‘Arsy istawa”
(QS. Thaha ayat 5). Lalu saya mengajukan beberapa ayat lain yang justru
menunjukkan kalau Allah subhanahu wata‘ala tidak ada di atas ‘Arasy.
Akibatnya, terjadiah dialog sengit
antara saya dengan Ustadz lulusan Madinah tersebut. Lalu setelah itu, saya
membeberkan fakta dan data-data akurat bahwa tradisi ta’wil sudah biasa
dilakukan oleh ulama salaf. Salah satunya adalah ta’wil yang dilakukan oleh
Imam Ahmad bin Hanbal atas ayat “wa jaa-a rabbuka wal malaku
shaffan-shaffan” (QS. al-Fajr ayat 22). Imam Ahmad mentakwil ayat tersebut
dengan jaa-a tsawaabuhu waqhadha-uhu (datangnya pahala dan ketetapan
Allah subhanahu wata‘ala).
Setelah itu, Ustadz Ali Musri mencari
ta’wil Imam Ahmad tersebut di software Maktabah Syamilah. Setelah dia
menemukannya, dia membacakan komentar Imam al-Baihaqi yang berbunyi hadza
al-isnad la ghubara ‘alaih (sanad ini tidak ada nodanya alias bersih) yang
menunjukkan bahwa sanadnya memang shahih.
Ternyata, aneh sekali, Ustadz tersebut
tertawa dan menganggap bahwa komentar atau penilaian al-Baihaqi yang berupa
redaksi hadza al-isnad la ghubara ’alaih tersebut sebagai shighat
(redaksi) yang menunjukkan atas kelemahan suatu sanad. Saya juga heran, mengapa
Ustadz lulusan Madinah tersebut tidak begitu memahami istilah-istilah yang
biasa dipakai oleh para ahli hadits. Ia tidak mengerti bahwa pernyataan
al-Baihaqi yang berbunyi hadza al-isnad la ghubara ’alaih bermakna bahwa
sanad riwayat ini tidak ada nodanya sama sekali, alias shahih. Sayangnya,
berhubung waktu yang disediakan oleh panitia dan moderator telah habis, saya
tidak bisa membantah dan mengomentari kembali pernyataan pemateri itu.”
Demikian kisah AD, kepada saya secara pribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar