Senin, 15 Oktober 2012

Hujjah Ahlussunnah wal Jama'ah Tentang Tauhid Bagian 6



Hujjah Ahlussunnah wal Jama'ah Tentang Tauhid Bagian 6

Ta’wil Imam Ahmad bin Hanbal


Ta’wil tehadap teks-teks mutasyabihat telah dilakukan oleh para ulama salaf, diantaranya Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain. Akan tetapi kaum Wahhabi seringkali mengingkari fakta-fakta tersebut dengan berbagai macam alasan yang tidak ilmiah dan selalu dibuat-buat.
Seorang teman saya, berinisial AD menceritakan pengalamannya ketika berdialog dengan AM, tokoh Wahhabi kelahiran Sumatera yang sekarang tinggal di Jember. AD bercerita begini:
“Sekitar bulan Maret tahun 2010 lalu, saya mengikuti suatu acara di Jakarta Selatan. Acara tersebut diadakan oleh salah satu ormas Islam di Indonesia. Dalam acara itu, ada seorang pemateri Wahhabi yang berasal dari Sumatera dan saat ini tinggal di Jember. Diantara materi yang disampaikannya adalah persoalan ta’wil. Dalam pandangannya, ta’wil atas ayat-ayat mutasyabihat tidak boleh dilakukan. Sehingga dengan asumsi demikian, ia meyakini bahwa Allah subhanahu wata‘ala itu bertempat atau berada di atas ‘Arsy. Dia menggunakan ayat “ar-Rahman ‘ala al-‘Arsy istawa” (QS. Thaha ayat 5). Lalu saya mengajukan beberapa ayat lain yang justru menunjukkan kalau Allah subhanahu wata‘ala tidak ada di atas ‘Arasy.
Akibatnya, terjadiah dialog sengit antara saya dengan Ustadz lulusan Madinah tersebut. Lalu setelah itu, saya membeberkan fakta dan data-data akurat bahwa tradisi ta’wil sudah biasa dilakukan oleh ulama salaf. Salah satunya adalah ta’wil yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal atas ayat “wa jaa-a rabbuka wal malaku shaffan-shaffan” (QS. al-Fajr ayat 22). Imam Ahmad mentakwil ayat tersebut dengan jaa-a tsawaabuhu waqhadha-uhu (datangnya pahala dan ketetapan Allah subhanahu wata‘ala).
Setelah itu, Ustadz Ali Musri mencari ta’wil Imam Ahmad tersebut di software Maktabah Syamilah. Setelah dia menemukannya, dia membacakan komentar Imam al-Baihaqi yang berbunyi hadza al-isnad la ghubara ‘alaih (sanad ini tidak ada nodanya alias bersih) yang menunjukkan bahwa sanadnya memang shahih.
Ternyata, aneh sekali, Ustadz tersebut tertawa dan menganggap bahwa komentar atau penilaian al-Baihaqi yang berupa redaksi hadza al-isnad la ghubara ’alaih tersebut sebagai shighat (redaksi) yang menunjukkan atas kelemahan suatu sanad. Saya juga heran, mengapa Ustadz lulusan Madinah tersebut tidak begitu memahami istilah-istilah yang biasa dipakai oleh para ahli hadits. Ia tidak mengerti bahwa pernyataan al-Baihaqi yang berbunyi hadza al-isnad la ghubara ’alaih bermakna bahwa sanad riwayat ini tidak ada nodanya sama sekali, alias shahih. Sayangnya, berhubung waktu yang disediakan oleh panitia dan moderator telah habis, saya tidak bisa membantah dan mengomentari kembali pernyataan pemateri itu.” Demikian kisah AD, kepada saya secara pribadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar