Hujjah Ahlussunnah wal Jama'ah Tentang Tauhid Bagian 3
Dialog Terbuka di Surabaya dan Blitar
Pada tahun 2009, saya pernah terlibat
perdebatan sengit dengan seorang Ustadz Salafi berinisial AH di Surabaya.
Beberapa bulan berikutnya saya berdebat lagi dengan Ustadz Salafi di Blitar.
Ustadz tersebut berinisial AH pula, tetapi lain orang.
Dalam perdebatan tersebut saya bertanya
kepada AH: “Mengapa Anda meyakini bahwa Allah subhanahu wata‘ala ada di
langit?”
Menanggapi pertanyaan saya, AH
menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an yang menurut asumsinya menunjukkan bahwa
Allah subhanahu wata‘ala ada di langit.
Lalu saya berkata: “Ayat-ayat yang
Anda sebutkan tidak secara tegas menunjukkan bahwa Allah ada di langit. Karena
kosa kata istawa, menurut para ulama memiliki 15 makna. Disamping itu, apabila
Anda berargumentasi dengan ayat-ayat tersebut, maka argumen Anda dapat
dipatahkan dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu
wata‘ala tidak ada di langit. Misalnya Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman:
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. al-Hadid ayat 4). Ayat
ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wata‘ala bersama kita di bumi, bukan ada
di langit. Dalam ayat lain Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman: “Dan
Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku (Palestina), yang akan
memberiku petunjuk.” (QS. ash-Shaffat ayat 99). Dalam ayat ini, Nabi Ibrahim
alaihissalam berkata akan pergi menuju Tuhannya, padahal Nabi Ibrahim
alaihissalam pergi ke Palestina. Dengan demikian, secara literal ayat ini
menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bukan ada di langit, tetapi ada di
Palestina.”
Setelah saya berkata demikian, AH tidak
mampu menjawab akan tetapi mengajukan dalil lain dan berkata: “Keyakinan
bahwa Allah subhanahu wata‘ala ada di langit telah dijelaskan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih: “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak perempuan yang berkulit hitam:
“Allah ada di mana?” Lalu budak itu menjawab: “Allah ada di langit.” Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya; “Saya siapa?” Ia menjawab: “Engkau
Rasul Allah.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada majikan
budak itu, “Merdekakanlah budak ini. Karena ia seorang budak yang mukmin.” (HR.
Muslim).”
Setelah AH berkata demikian, saya
menjawab begini: “Ada tiga tinjauan berkaitan dengan hadits yang Anda
sebutkan.”
Pertama, dari aspek kritisisme ilmu
hadits (naqd al-hadits). Hadits yang Anda sebutkan menurut para ulama tergolong
hadits mudhtharib (hadits yang simpang-siur periwayatannya), sehingga
kedudukannya menjadi lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah. Kesimpangsiuran
periwayatan hadits tersebut, dapat dilihat dari perbedaan setiap perawi dalam
meriwayatkan hadits tersebut. Ada yang meriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak bertanya di mana Allah subhanahu wa ta‘ala. Akan tetapi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah.
Kedua, dari segi makna, para ulama
melakukan ta’wil terhadap hadits tersebut dengan mengatakan, bahwa yang
ditanyakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebenarnya adalah bukan
tempat, tetapi kedudukan atau derajat Allah subhanahu wata‘ala.”
Lalu orang tersebut menjawab kedudukan
Allah subhanahu wata‘ala ada di langit, maksudnya Allah subhanahu wa ta‘ala itu
Maha Luhur dan Maha Tinggi.
Ketiga, apabila Anda berargumen
dengan hadits tersebut tentang keyakinan Allah subhanahu wata‘ala ada di
langit, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan hadits lain yang lebih kuat
dan menegaskan bahwa Allah subhanahu wata‘ala tidak ada di langit, bahkan ada
di bumi. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya: “Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat
dahak di arah kiblat, lalu beliau menggosoknya dengan tangannya, dan beliau
kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya
apabila salah seorang kalian berdiri dalam shalat, maka ia sesungguhnya
berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau Tuhannya ada di antara dirinya dan
kiblatnya. Oleh karena itu, janganlah ia meludah ke arah kiblatnya, akan tetapi
meludahlah ke arah kiri atau di bawah telapak kakinya.” (HR. al-Bukhari
no. 405).
Hadits ini menegaskan bahwa Allah
subhanahu wata‘ala ada di depan orang yang sedang shalat, bukan ada di
langit. Hadits ini jelas lebih kuat dari hadits riwayat Muslim, karena
hadits ini riwayat al-Bukhari. Setelah saya menjawab demikian, AH juga
tidak mampu menanggapi jawaban saya. Sepertinya dia merasa kewalahan dan
tidak mampu menjawab. Ia justru mengajukan dalil lain dengan berkata: “Keyakinan
bahwa Allah ada di langit itu ijma’ ulama salaf.”
Lalu saya jawab: “Tadi Anda
mengatakan bahwa dalil keyakinan Allah ada di langit, adalah ayat al-Qur’an.
Kemudian setelah argumen Anda kami patahkan, Anda beragumen dengan hadits. Lalu
setelah argumen Anda kami patahkan lagi, Anda sekarang berdalil dengan ijma’.
Padahal ijma’ ulama salaf sejak generasi sahabat justru meyakini Allah
subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata
dalam al-Farqu Bayna al-Firaq: “Kaum Muslimin sejak generasi salaf (para
sahabat dan tabi’in) telah bersepakat bahwa Allah tidak bertempat dan tidak
dilalui oleh waktu.” (al-Farq bayna al-Firaq halaman 256). Al-Imam Abu Ja’far
ath-Thahawi juga berkata dalam al-’Aqidah ath-Thahawiyyah, risalah kecil yang
menjadi kajian kaum Sunni dan Wahhabi: “Allah subhanahu wa ta‘ala tidak
dibatasi oleh arah yang enam.”
Setelah saya menjawab demikian kepada
AH, saya bertanya kepada AH: “Menurut Anda, tempat itu makhluk apa bukan?”
AH menjawab: “Makhluk.”
Saya bertanya: “Kalau tempat
itu makhluk, lalu sebelum terciptanya tempat, Allah ada di mana?”
AH menjawab: “Pertanyaan ini tidak
boleh, dan termasuk pertanyaan yang bid’ah.”
Demikian jawaban AH, yang menimbulkan
tawa para hadirin dari semua kalangan pada waktu itu. Kebetulan pada
acara tersebut, mayoritas hadirin terdiri dari kalangan Salafi, anggota
jamaah AH.
Demikianlah, cara dialog orang-orang
Wahhabi. Ketika mereka tidak dapat menjawab pertanyaan, mereka tidak
akan menjawab “Aku tidak tahu” sebagaimana tradisi ulama salaf dulu.
Akan tetapi mereka akan menjawab “Pertanyaanmu bid’ah dan tidak boleh.”
AH sepertinya tidak mengetahui bahwa pertanyaan Allah subhanahu wa
ta‘ala ada di mana sebelum terciptanyan alam, telah ditanyakan oleh para
sahabat kepada Nabi Saw., dan Nabi Saw. tidak berkata kepada mereka,
bahwa pertanyaan tersebut bid’ah atau tidak boleh.
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam
Shahih-nya: “Imran bin Hushain Ra. berkata: “Aku berada bersama Nabi Saw.,
tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman dan berkata: “Kami
datang untuk belajar agama dan menanyakan tentang permulaan yang ada
ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah Saw. menjawab: “Allah telah ada dan
tidak ada sesuatu apapun selain Allah.” (HR. al-Bukhari no. 3191).
Hadits ini menunjukkan bahwa Allah
subhanahu wata‘ala tidak bertempat. Allah subhanahu wata‘ala ada sebelum
adanya makhluk, termasuk tempat. Al-Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dengan
sanad yang hasan dalam as-Sunan berikut ini: “Abi Razin Ra. berkata: “Aku
berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum menciptakan
makhlukNya?” Rasulullah Saw. menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang
menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu.
Lalu Allah menciptakan ‘Arsy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid
bin Harun berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang
menyertai (termasuk tempat). At-Tirmidzi berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan
at-Tirmidzi no. 3109).
Dalam setiap dialog yang terjadi antara
Muslim Sunni dengan kaum Wahhabi, pasti kaum Sunni mudah sekali
mematahkan argumen Wahhabi. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dari ayat
al-Qur’an, maka dengan mudahnya dipatahkan dengan ayat al-Qur’an yang
lain. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dengan hadits Nabi Saw., pasti
kaum Sunni dengan mudahnya mematahkan argumen tersebut dengan hadits
yang lebih kuat. Dan ketika Sunni berargumen dengan dalil rasional,
pasti Wahhabi tidak dapat membantah dan menjawabnya. Keyakinan bahwa
Allah subhanahu wata‘ala ada tanpa tempat adalah keyakinan kaum Muslimin
sejak generasi salaf, kalangan sahabat dan tabi’in. Sayyidina Ali bin
Abi Thalib Ra. berkata: “Allah subhanahu wata‘ala ada sebelum adanya tempat.
Dan keberadaan Allah sekarang, sama seperti sebelum adanya tempat (maksudnya
Allah tidak bertempat).” (al-Farq baina al-Firaq halaman 256).