Hujjah Ahlussunnah wal Jama'ah Tentang Tabarruk Bagian 1
Dialog Publik di Masjidil Haram
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin
(ulama Wahhabi kontemporer di Saudi Arabia yang sangat populer dan
kharismatik), mempunyai seorang guru yang sangat alim dan kharismatik di
kalangan kaum Wahhabi, yaitu Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di. Ia dikenal
dengan julukan Syaikh Ibnu Sa’di. Ia memiliki banyak karangan, diantaranya yang
paling populer adalah karyanya yang berjudul, Taisir al-Karim ar-Rahman fi
Tafsir Kalam al-Mannan, kitab tafsir setebal 5 jilid, yang mengikuti paradigma
pemikiran Wahhabi. Tafsir ini di kalangan Wahhabi menyamai kedudukan Tafsir
al-Jalalain di kalangan kaum Sunni. Syaikh Ibnu Sa’di dikenal sebagai ulama
Wahhabi yang ekstrem. Namun demikian, terkadang ia mudah insyaf dan mau
mengikuti kebenaran, dari manapun kebenaran itu datangnya.
Suatu ketika, al-Imam as-Sayyid ‘Alwi
bin Abbas al-Maliki al-Hasani (ayahanda as-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki)
sedang duduk-duduk di serambi Masjidil Haram bersama murid-muridnya dalam
halaqah pengajiannya. Di bagian lain serambi Masjidil Haram tersebut, Syaikh Ibnu
Sa’di juga duduk-duduk bersama anak buahnya. Sementara orang-orang di Masjidil
Haram sedang larut dalam ibadah. Ada yang shalat dan ada pula yang thawaf. Pada
saat itu, langit di atas Masjidil Haram diselimuti mendung tebal yang
menggelantung. Sepertinya sebentar lagi hujan lebat akan segera mengguyur tanah
suci umat Islam itu.
Tiba-tiba air hujan itu pun turun
dengan lebatnya. Akibatnya, saluran air di atas Ka’bah mengalirkan air hujan
itu dengan derasnya. Melihat air begitu deras dari saluran air di atas kiblat
kaum Muslimin yang berbentuk kubus itu, orang-orang Hijaz seperti kebiasaan
mereka, segera berhamburan menuju saluran itu dan mengambil air tersebut. Air
itu mereka tuangkan ke baju dan tubuh mereka, dengan harapan mendapatkan berkah
dari air itu.
Melihat kejadian tersebut, para polisi
pamong praja Kerajaan Saudi Arabia, yang sebagian besar berasal dari orang
Baduwi daerah Najd itu, menjadi terkejut dan mengira bahwa orang-orang Hijaz
tersebut telah terjerumus dalam lumpur kesyirikan dan menyembah selain Allah
subhanahu wa ta’ala dengan ngalap barokah dari air itu. Akhirnya para polisi
pamong praja itu menghampiri kerumunan orang-orang Hijaz dan berkata kepada
mereka yang sedang mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air
Ka’bah itu, “Hai orang-orang musyrik, jangan lakukan itu. Itu perbuatan
syirik. Itu perbuatan syirik. Hentikan!” Demikian teguran keras para polisi
pamong praja kerajaan Wahhabi itu.
Mendengar teguran para polisi pamong
praja itu, orang-orang Hijaz itu pun segera membubarkan diri dan pergi menuju
Sayyid ‘Alwi yang sedang mengajar murid-muridnya di halaqah tempat beliau
mengajar secara rutin.
Kepada beliau, mereka menanyakan
perihal hukum mengambil berkah dari air hujan yang mengalir dari saluran air di
Ka’bah itu. Ternyata Sayyid ‘Alwi membolehkan dan bahkan mendorong mereka untuk
terus melakukannya. Menerima fatwa Sayyid ‘Alwi yang melegitimasi perbuatan
mereka, akhirnya untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu pun
berhamburan lagi menuju saluran air di Ka’bah itu, dengan tujuan mengambil
berkah air hujan yang jatuh darinya, tanpa mengindahkan teguran para polisi
Baduwi tersebut.
Bahkan ketika para polisi Baduwi itu
menegur mereka untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu menjawab, “Kami
tidak peduli teguran Anda, setelah Sayyid ‘Alwi berfatwa kepada kami tentang
kebolehan mengambil berkah dari air ini.”
Akhirnya, melihat orang-orang Hijaz itu
tidak mengindahkan teguran, para polisi Baduwi itu pun segera mendatangi
halaqah Syaikh Ibnu Sa’di, guru mereka. Mereka mengadukan perihal fatwa Sayyid
‘Alwi yang menganggap bahwa air hujan itu ada berkahnya. Akhirnya, setelah
mendengar laporan para polisi Baduwi, yang merupakan anak buahnya itu,
Syaikh Ibnu Sa’di segera mengambil
selendangnya dan bangkit berjalan menghampiri halaqah Sayyid ‘Alwi. Kemudian
dengan perlahan Syaikh Ibn Sa’di itu duduk di sebelah Sayyid ‘Alwi. Sementara
orang-orang dari berbagai golongan, berkumpul mengelilingi kedua ulama besar
itu. Mereka menunggu-nunggu, apa yang akan dibicarakan oleh dua ulama besar
itu.
Dengan penuh sopan santun dan etika
layaknya seorang ulama besar, Syaikh Ibnu Sa’di bertanya kepada Sayyid ‘Alwi: “Wahai
Sayyid, benarkah Anda berkata kepada orang-orang itu bahwa air hujan yang turun
dari saluran air di Ka’bah itu ada berkahnya?”
Mendengar pertanyaan Syaikh Ibn Sa’di,
Sayyid ‘Alwi menjawab: “Benar. Bahkan air tersebut memiliki dua berkah.”
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu
Sa’di terkejut dan berkata:
“Bagaimana hal itu bisa terjadi?”
Sayyid ‘Alwi menjawab: “Karena Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman dalam KitabNya tentang air hujan: “Dan Kami
turunkan dari langit air yang mengandung berkah.” (QS. 50 ayat 9). Allah
subhanahu wa ta’ala juga berfirman mengenai Ka’bah: “Sesungguhnya rumah yang
pertama kali diletakkan bagi umat manusia adalah rumah yang ada di Bakkah
(Makkah), yang diberkahi (oleh Allah).” (QS. 3 ayat 96). Dengan demikian
air hujan yang turun dari saluran air di atas Ka’bah itu memiliki dua berkah,
yaitu berkah yang turun dari langit dan berkah yang terdapat pada Baitullah
ini.”
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu
Sa’di merasa heran dan kagum kepada Sayyid ‘Alwi. Kemudian dengan penuh
kesadaran, mulut Syaikh Ibnu Sa’di itu melontarkan perkataan yang sangat mulia,
sebagai pengakuannya akan kebenaran ucapan Sayyid ‘Alwi: “Subhanallah (Maha
Suci Allah), bagaimana kami bisa lalai dari kedua ayat ini.”
Kemudian Syaikh Ibnu Sa’di mengucapkan
terima kasih kepada Sayyid ‘Alwi dan meminta izin untuk meninggalkan halaqah
tersebut. Namun Sayyid ‘Alwi berkata kepada Syaikh Ibnu Sa’di: “Tenang dulu
wahai Syaikh Ibnu Sa’di. Aku melihat para polisi Baduwi itu mengira bahwa apa
yang dilakukan oleh kaum Muslimin dengan mengambil berkah air hujan yang
mengalir dari saluran air di Ka’bah itu sebagai perbuatan syirik. Mereka tidak
akan berhenti mengkafirkan dan mensyirikkan orang dalam masalah ini sebelum
mereka melihat orang seperti Anda melarang mereka. Oleh karena itu, sekarang
bangkitlah Anda menuju saluran air di Ka’bah itu. Lalu ambillah air di situ di
depan para polisi Baduwi itu, sehingga mereka akan berhenti mensyirikkan orang
lain.”
Akhirnya mendengar saran Sayyid ‘Alwi,
Syaikh Ibnu Sa’di segera bangkit menuju saluran air di Ka’bah. Ia basahi
pakaiannya dengan air itu, dan ia pun mengambil air itu untuk diminumnya dengan
tujuan mengambil berkahnya. Melihat tindakan Syaikh Ibnu Sa’di ini, para polisi
Baduwi itu pun akhirnya pergi meninggalkan Masjidil Haram dengan perasaan malu.
Kisah ini disebutkan oleh Syaikh Abdul
Fattah Rawwah, dalam kitab Tsabat (kumpulan sanad-sanad keilmuannya). Beliau
murid Sayyid ‘Alwi al-Maliki dan termasuk salah seorang saksi mata kejadian
itu.
Syaikh Ibn Sa’di sebenarnya seorang
yang sangat alim. Ia pakar dalam bidang tafsir. Apabila berbicara tafsir, ia
mampu menguraikan makna dan maksud ayat al-Qur’an dari berbagai aspeknya di
luar kepala dengan bahasa yang sangat bagus dan mudah dimengerti. Akan tetapi
sayang, ideologi Wahhabi yang diikutinya berpengaruh terhadap paradigma
pemikiran beliau. Aroma Wahhabi sangat kental dengan tafsir yang ditulisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar