Hujjah Ahlussunnah wal Jama'ah Tentang Tabarruk Bagian 2
Ngalap Berkah
Berkah (barokah) diartikan dengan
tambahnya kebaikan (ziyadah al-khair). Sedangkan tabarruk bermakna mencari
tambahnya kebaikan atau ngalap barokah (thalab ziyadah al-khair). Demikian para
ulama menjelaskan.
Masyarakat kita seringkali mendatangi
orang-orang saleh dan para ulama sepuh dengan tujuan tabarruk. Para ulama dan
orang saleh memang ada barokahnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: “Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam bersabda: “Berkah Allah bersama orang-orang besar di antara
kamu.” (HR. Ibn Hibban no. 1912, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah juz 8 halaman
172, al-Hakim dalam al-Mustadrak juz 1 halaman 62 dan adh-Dhiya’ dalam
al-Mukhtarah halaman 64, 35, 2. Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai
kriteria al-Bukhari, dan adz-Dzahabi menyetujuinya).
Al-Imam al-Munawi menjelaskan dalam
Faidh al-Qadir, bahwa hadits tersebut mendorong kita mencari berkah Allah
subhanahu wa ta’ala dari orang-orang besar dengan memuliakan dan mengagungkan
mereka. Orang besar di sini bias dalam artian besar ilmunya seperti para ulama,
atau kesalehannya seperti orang-orang saleh. Bisa pula, besar dalam segi usia,
seperti orang-orang yang lebih tua.
Dalam sebuah diskusi di Masjid
At-Taqwa, Denpasar Bali, ada peserta yang bertanya, “Bagaimana Islam
menanggapi orang-orang yang melakukan ziarah ke makam para wali dengan tujuan
mencari berkah?”
Di antara amal yang dapat mendekatkan
seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah ziarah makam para nabi atau para
wali. Baik ziarah tersebut dilakukan dengan tujuan mengucapkan salam kepada
mereka atau karena tujuan tabarruk (ngalap barokah) dengan berziarah ke makam
mereka. Maksud tabarruk di sini adalah mencari barokah dari Allah subhanahu wa
ta’ala dengan cara berziarah ke makam para wali.
Orang yang berziarah ke makam para wali
dengan tujuan tabarruk, maka ziarah tersebut dapat mendekatkannya kepada Allah
subhanahu wa ta’ala dan tidak menjauhkannya dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Orang yang berpendapat bahwa ziarah wali dengan tujuan tabarruk itu syirik,
jelas keliru. Ia tidak punya dalil, baik dari al-Qur’an maupun dari hadits Nabi
shallallahu alaihi wa sallam.
Al-Hafidz Waliyyuddin al-’Iraqi berkata
ketika menguraikan maksud hadits: “Sesungguhnya Nabi Musa As. berkata, “Ya
Allah, dekatkanlah aku kepada tanah suci sejauh satu lemparan dengan batu.”
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Demi Allah, seandainya aku ada
di sampingnya, tentu aku beritahu kalian letak makam Musa, yaitu di tepi jalan
di sebelah bukit pasir merah.” Ketika menjelaskan maksud hadits tersebut,
al-Hafidz al-’Iraqi berkata: “Hadits tersebut menjelaskan anjuran mengetahui
makam orang-orang saleh untuk dizarahi dan dipenuhi haknya. Nabi
shallallahu alaihi wa sallam telah menyebutkan tanda-tanda makam Nabi
Musa As. yaitu pada makam yang sekarang dikenal masyarakat sebagai makam
beliau. Yang jelas, tempat tersebut adalah makam yang ditunjukkan oleh
Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (Tharh at-Tatsrib, juz 3 halaman 303).
Pada dasarnya ziarah kubur itu sunnat
dan ada pahalanya. Rasulullah Saw. bersabda: “Dulu aku melarang kamu ziarah
kubur. Sekarang ziarahlah.” (HR. Muslim). Dalam satu riwayat, “Barangsiapa
yang henda ziarah kubur maka ziarahlah, karena hal tersebut dapat
mengingatkan kita pada akhirat.” (Riyadh ash-Shalihin bab 66).
Di sini mungkin ada yang bertanya,
adakah dalil yang menunjukkan bolehnya ziarah kubur dengan tujuan tabarruk dan
tawassul?
Sebagaimana dimaklumi, tabarruk itu
punya makna keinginan mendapat berkah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan
berziarah ke makam nabi atau wali. Kemudian para nabi itu meskipun telah pindah
ke alam baka, namun pada hakekatnya mereka masih hidup. Dengan demikian, tidak
mustahil apabila mereka merasakan datangnya orang yang ziarah, maka mereka akan
mendoakan peziarah itu kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Rasulullah Saw. bersabda: “Para nabi
itu hidup di alam kubur mereka seraya menunaikan shalat.” (HR.
al-Baihaqi dalam Hayat al-Anbiya’).
Sebagai penegasan bahwa Nabi Saw. yang
telah wafat, dapat mendoakan orang yang masih hidup, adalah hadits berikut ini:
“Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam bersabda: “Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbuat
sesuatu, aku dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik bagi
kalian. Apabila aku wafat, maka amal perbuatan kalian ditampakkan
kepadaku. Apabila aku melihat amal baik kalian, aku akan memuji kepada
Allah. Dan apabila aku melihat sebaliknya, maka aku memintakan ampun
kalian kepada Allah.” (HR. al-Bazzar no. 1925).
Karena keyakinan bahwa para nabi itu
masih hidup di alam kubur mereka, kaum salaf sejak generasi sahabat melakukan
tabarruk dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam setelah beliau wafat. Hakekat
bahwa para nabi dan orang saleh itu masih hidup di alam kubur, sehingga para
peziarah dapat bertabarruk dan bertawassul dengan mereka, telah disebutkan oleh
Syaikh Ibn Taimiyah berikut ini: “Tidak masuk dalam bagian ini (kemungkaran
menurut ulama salaf) adalah apa yang diriwayatkan bahwa sebagian kaum
mendengar jawaban salam dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam
atau makam orang-orang saleh, juga Sa’id bin al-Musayyab mendengar adzan
dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada malam-malam peristiwa
al-Harrah dan sesamanya. Ini semuanya benar, dan bukan yang kami
persoalkan. Persoalannya lebih besar dan lebih serius dari hal tersebut.
Demikian pula bukan termasuk kemungkaran, adalah apa yang diriwayatkan
bahwa seorang laki-laki datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa
sallam lalu mengadukan musim kemarau kepada beliau pada tahun ramadah
(paceklik). Lalu orang tersebut bermimpi Nabi shallallahu alaihi wa
sallam dan menyuruhnya untuk mendatangi Umar bin al-Khaththab agar
keluar melakukan istisqa’ dengan masyarakat. Ini bukan termasuk kemungkaran.
Hal semacam ini banyak sekali terjadi dengan orang-orang yang kedudukannya
di bawah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan aku sendiri banyak
mengetahui peristiwa-peristiwa seperti ini.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha’
as-Shirath al-Mustaqim juz 1 halaman 373).
Kisah laki-laki yang datang ke makam
Nabi shallallahu alaihi wa sallam di atas, telah dijelaskan secara lengkap oleh
al-Hafidz Ibn Katsir ad-Dimasyqi, murid terkemuka Syaikh Ibn Taimiyah, dalam
kitabnya al-Bidayah wa an-Nihayah. Beliau berkata: “Al-Hafidz Abu Bakar
al-Baihaqi berkata, Abu Nashr bin Qatadah dan Abu Bakar al-Farisi
mengabarkan kepada kami, Abu Umar bin Mathar mengabarkan kepada kami,
Ibrahim bin Ali adz-Dzuhli mengabarkan kepada kami, Yahya bin Yahya mengabarkan
kepada kami, Abu Muawiyah mengabarkan kepada kami, dari al-A’masy, dari Abu
Shalih, dari Malik ad-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin al-Khaththab,
bahwa musim paceklik melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah Umar. Maka
seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani) mendatangi makam
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mengatakan: “Hai Rasulullah,
mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu karena sungguh mereka
benar-benar telah binasa”. Kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan beliau berkata kepadanya:
“Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun
untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah melayani
umat”. Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan
apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar menangis dan
mengatakan: “Ya Allah, saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku
tidak mampu”. Sanad hadits ini shahih. (Al-Hafidz Ibn Katsir, al-Bidayah wa
an-Nihayah juz 7 halaman 92, Jami’ al-Masanid juz 1 halaman 233, Ibn Katsir
berkata: Sanadnya jayyid (baik). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn Abi
Khaitsamah, lihat al-Ishabah juz 3 halaman 484, al-Khalili dalam al-Irsyad juz
1 halaman 313, Ibn Abd al-Barr dalam al-Isti’ab juz 2 halaman 464 serta
dishahihkan oleh al-Hafidz Ibn Hajar dalam Fath al-Bari juz 2 halaman 495).
Apabila hadits di atas kita cermati
dengan seksama, maka akan kita pahami bahwa sahabat Bilal bin al-Harits
al-Muzani radhiyallahu ‘anhu tersebut dating ke makam Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam dengan tujuan tabarruk, bukan tujuan mengucapkan salam.
Kemudian ketika laki-laki itu melaporkan kepada Sayidina Umar radhiyallahu
‘anhu, ternyata Umar radhiyallahu ‘anhu tidak menyalahkannya. Sayidina Umar
radhiyallahu ‘anhu juga tidak berkata kepada laki-laki itu, “Perbuatanmu ini
syirik”, atau berkata, “Mengapa kamu pergi ke makam Rasul shallallahu
alaihi wa sallam untuk tujuan tabarruk, sedangkan beliau telah wafat dan tidak
bisa bermanfaat bagimu”.
Hal ini menjadi bukti bahwa
bertabarruk dengan para nabi dan wali dengan berziarah ke makam mereka,
itu telah dilakukan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat, tabi’in dan penerusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar