Hujjah Ahlussunnah wal Jama'ah Tentang Tauhid Bagian 5
Al-Imam al-Bukhari dan Ta’wil
Kalau kita mengamati dengan seksama,
perdebatan orang-orang Wahhabi dengan para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, akan
mudah kita simpulkan, bahwa kaum Wahhabi seringkali mengeluarkan vonis hukum
tanpa memiliki dasar ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan tidak
jarang, pernyataan mereka dapat menjadi senjata untuk memukul balik pandangan
mereka sendiri.
Ustadz Syafi’i Umar Lubis dari Medan
bercerita kepada saya: “Ada sebuah pesantren di kota Siantar, Siamlungun,
Sumatera Utara. Pesantren itu bernama Pondok Pesantren Darus Salam. Setiap
tahun, Pondok tersebut mengadakan Maulid Nabi Saw. dengan mengundang sejumlah
ulama dari berbagai daerah termasuk Medan dan Aceh. Acara puncak biasanya
ditaruh pada siang hari. Malam harinya diisi dengan diskusi. Pada Maulid Nabi
Saw. tahun 2010 ini saya dan beberapa orang ustadz diminta sebagai pembicara
dalam acara diskusi. Kebetulan diskusi kali ini membahas tentang Salafi apa dan
mengapa, dengan judul Ada Apa Dengan Salafi? Setelah presentasi tentang aliran
Salafi selesai, lalu tibalah sesi tanya jawab. Ternyata dalam sesi tanya jawab
ini ada orang yang berpakaian gamis mengajukan keberatan dengan pernyataan saya
dalam memberikan keterangan tentang Salafi, antara lain berkaitan dengan
ta’wil.
Orang Salafi tersebut mengatakan: “Al-Qur’an
itu diturunkan dengan bahasa Arab. Sudah barang tentu harus kita fahami sesuai
dengan bahasa Arab pula”.
Pernyataan orang Salafi itu, saya
dengarkan dengan cermat. Kemudian dia melanjutkan keberatannya dengan berkata: “Ayat-ayat
al-Qur’an itu tidak perlu dita’wil dan ini pendapat Ahlussunnah”.
Setelah diselidiki, ternyata pemuda
Salafi itu bernama Sofyan. Ia berprofesi sebagai guru di lembaga As-Sunnah,
sebuah lembaga pendidikan orang-orang Wahhabi atau Salafi. Mendengar pernyataan
Sofyan yang terakhir, saya bertanya: “Apakah Anda yakin bahwa al-Imam
al-Bukhari itu ahli hadits?”
Sofyan menjawab: “Ya, tidak
diragukan lagi, beliau seorang ahli hadits.”
Saya bertanya: “Apakah al-Bukhari
penganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah?”
Sofyan menjawab: “Ya.”
Saya berkata: “Apakah al-Albani
seorang ahli hadits?”
Sofyan menjawab: “Ya, dengan
karya-karya yang sangat banyak dalam bidang hadits, membuktikan bahwa beliau
juga ahli hadits.”
Saya berkata: “Kalau benar
al-Bukhari menganut Ahlussunnah, berarti al-Bukhari tidak melakukan ta’wil.
Bukankah begitu keyakinan Anda?”
Sofyan menjawab: “Benar begitu.”
Saya berkata: “Saya akan membuktikan
kepada Anda, bahwa al-Bukhari juga melakukan ta’wil.”
Sofyan berkata: “Mana buktinya?”
Mendengar pertanyaan Sofyan,
saya langsung membuka Shahih al-Bukhari tentang ta’wil yang beliau lakukan
dan memberikan photo copynya kepada anak muda itu. Saya berkata: “Anda lihat
pada halaman ini, al-Imam al-Bukhari mengatakan: “Bab tentang ayat: Segala
sesuatu akan hancur kecuali WajahNya, artinya KekuasaanNya.” Nah, kata
WajahNya, oleh al-Imam al-Bukhari diartikan dengan mulkahu, artinya
kekuasaanNya. Kalau begitu al-Imam al-Bukhari melakukan ta’wil terhadap ayat
ini. Berarti, menurut logika Anda, al-Bukhari seorang yang sesat, bukan
Ahlussunnah. Anda setuju bahwa al-Bukhari bukan Ahlussunnah dan pengikut aliran
sesat?”.
Mendengar pertanyaan saya, Sofyan hanya
terdiam. Sepatah katapun tidak terlontar dari lidahnya. Kemudian saya
berkata: “Kalau begitu, sejak hari ini, sebaiknya Anda jangan memakai hadits
al-Bukhari sebagai rujukan. Bahkan Syaikh al-Albani, orang yang saudara puji
itu, dan orang-orang Salafi memujinya dan menganggapnya lebih hebat dari
al-Imam al-Bukhari sendiri. Al-Albani telah mengkritik al-Imam al-Bukhari
dengan kata-kata yang tidak pantas. Al-Albani berkata: “Pendapat al-Bukhari
yang melakukan ta’wil terhadap ayat di atas ini tidak sepatutnya diucapkan oleh
seorang Muslim yang beriman”. Inilah komentar Syaikh Anda, al-Albani tentang
ta’wil al-Imam al-Bukhari ketika menta’wil ayat “Segala sesuatu akan hancur
kecuali WajahNya”. Secara tidak langsung, seolah-olah al-Albani mengatakan
bahwa ta’wilan al-Imam al-Bukhari tersebut pendapat orang kafir. Kemudian saya
mengambil photo copy buku fatwa al-Albani dan saya serahkan kepada anak muda
Salafi ini. Ia pun diam seribu bahasa.”
Demikian kisah yang dituturkan oleh
Syafi’i Umar Lubis dari Medan, seorang ulama muda yang kharismatik dan
bersemangat dalam membela Ahlussunnah wal Jama’ah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar