Minggu, 14 Oktober 2012

Hujjah Ahlussunnah wal Jama'ah Tentang Tauhid Bagian 2



Hujjah Ahlussunnah wal Jama'ah Tentang Tauhid Bagian 2

Ulama Maroko dan Wahhabi Tuna Netra


Al-Hafidz Ahmad bin Muhammad bin ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani adalah ulama ahli hadits yang terakhir menyandang gelar al-Hafidz (gelar kesarjanaan tertinggi dalam bidang ilmu hadits). Ia memiliki kisah perdebatan yang sangat menarik dengan kaum Wahhabi. Dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar, sebuah autobiografi yang melaporkan perjalanan hidupnya, beliau mencatat kisah berikut ini:
“Pada tahun 1356 H ketika saya menunaikan ibadah haji, saya berkumpul dengan tiga orang ulama Wahhabi di rumah Syaikh Abdullah ash-Shani’ di Mekkah yang juga ulama Wahhabi dari Najd. Dalam pembicaraan itu, mereka menampilkan seolah-olah mereka ahli hadits, amaliahnya sesuai dengan hadits dan anti taklid. Tanpa terasa, pembicaraan pun masuk pada soal penetapan ketinggian tempat Allah subhanahu wata‘ala dan bahwa Allah subhanahu wata‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai dengan ideologi Wahhabi. Mereka menyebutkan beberapa ayat al-Qur’an yang secara literal (dzahir) mengarah pada pengertian bahwa Allah subhanahu wata‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai keyakinan mereka.
Akhirnya saya (al-Ghumari) berkata kepada mereka: “Apakah ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi termasuk bagian dari al-Qur’an?”
Wahhabi menjawab: “Ya.”
Saya berkata: “Apakah meyakini apa yang menjadi maksud ayat-ayat tersebut dihukumi wajib?”
Wahhabi menjawab: “Ya.”
Saya berkata: “Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala: Apakah ini termasuk al-Qur’an?”
Wahhabi tersebut menjawab: “Ya, termasuk al-Qur’an.”
Saya berkata: “Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wata‘ala: “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya….” (QS. al-Mujadilah ayat 7). Apakah ayat ini termasuk al-Qur’an juga?”
Wahhabi itu menjawab: “Ya, termasuk al-Qur’an.”
Saya berkata: “(Kedua ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata‘ala tidak ada di langit). Mengapa Anda menganggap ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi yang menurut asumsi Anda menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata‘ala ada di langit lebih utama untuk diyakini dari pada kedua ayat yang saya sebutkan yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata‘ala tidak ada di langit? Padahal kesemuanya juga dari Allah subhanahu wata‘ala?”
Wahhabi itu menjawab: “Imam Ahmad mengatakan demikian.”
Saya berkata kepada mereka: “Mengapa kalian taklid kepada Ahmad dan tidak mengikuti dalil?”
Tiga ulama Wahhabi itu pun terbungkam. Tak satu kalimat pun keluar dari mulut mereka.
Sebenarnya saya menunggu jawaban mereka, bahwa ayat-ayat yang saya sebutkan tadi harus dita’wil, sementara ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata‘ala ada di langit tidak boleh dita’wil.
Seandainya mereka menjawab demikian, tentu saja saya akan bertanya kepada mereka, siapa yang mewajibkan menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan dan melarang menta’wil ayat-ayat yang kalian sebutkan tadi?
Seandainya mereka mengklaim adanya ijma’ ulama yang mengharuskan menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan tadi, tentu saja saya akan menceritakan kepada mereka informasi beberapa ulama seperti al-Hafidz Ibn Hajar tentang ijma’ ulama salaf untuk tidak menta’wil semua ayat-ayat sifat dalam al-Qur’an, bahkan yang wajib harus mengikuti pendekatan tafwidh (menyerahkan pengertiannya kepada Allah subhanahu wata‘ala).”
Demikian kisah al-Imam al-Hafidz Ahmad bin ash-Shiddiq al-Ghumari dengan tiga ulama terhebat kaum Wahhabi.

3 komentar:

  1. Kami tidak menaggapi masalah ulama taqlid kepada imam Ahmad, cerita ini dapat di pastikan dusta atau di buat-buat oleh penulis karena tidaklah mungkin ulama besar taqlid kepada seorang ulama yang tidak ma’sum, sementara dalam kitab mereka dan kajiannya ulama tersebut menekankan kepada para penutut ilmu tidak boleh taqlid kepada siapapun yang tidak ma’sum kecuali hanya kepada Rasulullah, jadi sekali lagi hal ini tidak perlu jadi parameter kebenaran, dan yang dapat menjadikan parameter adanya sanad yang di percaya .

    BalasHapus
  2. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak Mengetahui. (QS. An-Nur : 19)

    Allah Ta’ala berfirman,
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا
    “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” (Al-Hujurat : 12)

    Larangan dari hadis
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
    إِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَتَدَابَرُوا وَلاَتَبَاغَضُوا وَكُوْنُواعِبَادَاللَّهِ إحْوَانًا
    “Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.”(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari hadis no. 6064 dan Muslim hadis no. 2563)

    Perkataan Ulama Salaf tentang Tajassus
    Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata,
    (( ولا تظنَّنَّ بكلمة خرجت من أخيك المؤمن إلاَّ خيراً، وأنت تجد لها في الخير مَحملاً ))
    “Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik.”(Rifqan Ahlu as-Sunnah bi Ahli as-Sunnah, halaman 10)

    BalasHapus
  3. Judul antum salah seharusnya jangan hujjah ahlusunnah wal jama'ah, yang benar hujjah ahlussunah adalah dalil al-Qur'an, as-sunnah shahihah, yang di pahami oleh shalafush shaleh kalangan shahabat, tabi'in tabi'ut ulama imam madzhab hanafi, maliki, syafi'ie dan hambali.......apa lagi tentang tauhid, jadi ini bukan tauhid tapi berita masalah sifat bagi Allah masuk katagori Aqidah gitu... loh...!!!

    BalasHapus