Kamis, 03 Januari 2013

Mengenal Asal Muasal Ahlus Sunnah wal Jama’ah



Mengenal Asal Muasal Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Mulanya adalah sebuah hadits dengan banyak redaksi, yang salah satunya diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Al-Baihaqi. Rasulullah Saw dikabarkan pernah bersabda; “inna bani israil iftaraqat ila itsnain wa sab’iina millatan, wa satafruqu ummatii ‘ala tsalaatsatin wa sab’iina millatan kulluha fin nar illa millatan wahidatan”, “Sesungguhnya bani israil terberai menjadi 72 golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 73 kelompok. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan”. Penasaran dengan pernyataan Nabi, para sahabat lantas bertanya, “man hiya, ya Rasulallah?”, “Siapa kelompok itu?”. Rasul pun menjawab, “man kaana ‘ala mitslii ma ana ‘alaihi wa ashabii”, yakni “orang-orang yang berada di suatu ‘jalur’ yang sama dengan apa yang dilampahi olehku dan sahabatku”.

Dan benar saja, din (agama) yang dibawa oleh Muhammad ibn Abdillah ini pun kemudian terbukti terpecah belah. Meskipun banyak pengamat yang berspekulasi bahwa motif mendasar dari perpecahan Islam adalah bukan semata-mata persoalan diniyah, dan mereka (para peneliti itu) menyebutkan alasan politis, tetapi tidak lama sepeninggal Nabi Saw, benih-benih perselisihan ini mulai muncul. Tidak berselang lama, aliran-aliran –sebagaimana disebut dalam hadits riwayat at-Tirmidzi dan al-Baihaqi di atas­­ sebagai millah– itu pun lahir. Kita sendiri kemudian mengenal nama-nama Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah, dan masih banyak lagi.

Dalam risalahnya, al-ghunyah, As-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani bahkan telah menandai sekaligus mengklasifikasi ke-73 jenis golongan tersebut. Belakangan kita diberi tahu, dari puluhan golongan yang ada, memang hanya satu yang “menang” (baca: benar). Dan sang pemenang tersebut lantas kita identifikasi dengan sebutan Ahlus sunnah wal jama’ah.

Dus, dari sini kemudian muncul persoalan yang sama sekali baru –masalah yang barangkali tidak atau belum terprediksi oleh ulama-ulama seperti Tasy Kubra Zadah, Al-Syahrastani, dan bahkan Al-Jailani (alias mereka yang telah merintis penulisan tentang aliran-aliran ideologis di dalam Islam).

Pada zaman kita, tentu saja kita amat menyadari kenyataan ini, bermunculan pola pikir dan pola keberagamaan yang boleh jadi tidak memiliki afiliasi dengan golongan-golongan yang selama ini dikenal. Kita misalnya, tidak lagi menemukan nama kelam kelompok Mu’tazilah; ia telah lama dikubur sejarah. Hari ini, faksi-faksi ideologis di dalam agama Islam kita temukan dengan perwajahan plus penamaan yang sama sekali lain, yang acapkali tidak serupa dengan yang pernah ditulis para ulama klasik.

Naasnya, kalau dulu pola ideologis setiap aliran langsung bisa dibedakan dari kubu Ahlus sunnah wal jama’ah, maka sekarang setiap kelompok –kemungkinan terdorong oleh keberadaan hadits di atas– mengklaim diri sebagai yang paling Sunny (penamaan bagi para pengikut Ahlus sunnah wal jama’ah). Alhasil, Aswaja (akronim dari Ahlus sunnah wal jama’ah) pun kini beralih menjadi raut muka yang kabur. Kepada kalangan awam, setiap satu dari aliran-aliran baru ini memperkenalkan diri sebagai Ahlus sunnah wal jama’ah. Namun pada tempat dan waktu yang berbeda, kalangan awam yang sama menemukan kelompok yang lain, yang juga mengkhutbahkan diri sebagai Ahlus sunnah wal jama’ah.

Berkaca kepada perkembangan konteks persoalan yang sedemikian rupa, menilik lagi, mendiskusikan kembali, dan menjernihkan makna Ahlus sunnah wal jama’ah menjadi amat signifikan –kalau bukan sangat mendesak. Dengan begini, semoga distorsi pemahaman atas ideologi Ahlus sunnah wal jama’ah segera bisa diakhiri.

Terma Ahlus sunnah wal jama’ah sebetulnya merupakan diksi baru, atau sekurang-kurangnya tidak pernah digunakan sebelumnya di masa Nabi dan pada periode Sahabat.[i] Bahkan menurut catatan, kata ini belum dipakai pada kurun tabi’in (masa sesudah periode Sahabat) dan/atau tabi’ut tabi’in (masa sesudah periode tabi’in). Pada masa Al-Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) umpamanya, orang yang disebut-sebut sebagai pelopor madzhab Ahlus sunnah wal jama’ah itu, istilah ini belum digunakan. Sebagai terminologi, Ahlus sunnah wal jama’ah baru diperkenalkan hampir empat ratus tahun pasca meninggalnya Nabi Saw, oleh para Ashab Asy’ari (pengikut Abu Hasan Al-Asy’ari) seperti Al-Baqillani (w. 403 H), Al-Baghdadi (w. 429 H), Al-Juwaini (w. 478 H), Al-Ghazali (w.505 H), Al-Syahrastani (w. 548 H), dan al-Razi (w. 606 H).

Memang jauh sebelum itu, kata-kata sunnah dan jama’ah sudah lazim dipakai dalam tulisan-tulisan arab, meski bukan sebagai terminologi dan bahkan sebagai sebutan bagi sebuah madzhab keyakinan. Ini misalnya terlihat dalam surat-surat Al-Ma’mun kepada gubernurnya Ishaq ibn Ibrahim pada tahun 218 H, sebelum Al-Asy’ari sendiri lahir, tercantum kutipan kalimat wanasabu anfusahum ilassunnah  (mereka mempertalikan diri dengan sunnah), dan kalimat ahlul haq waddin wal jama’ah (ahli kebenaran, agama dan jama’ah).[ii] 

Pemakaian Ahlus sunnah wal jama’ah sebagai sebutan bagi kelompok keagamaan justru diketahui lebih belakangan, sewaktu Az-Zabidi menyebutkan dalam Ithaf Sadatul Muttaqin, penjelasan atau syarah dari Ihya Ulumiddinnya Al-Ghazali: idza uthliqa uthliqa ahlus sunnah fal muradu bihi al-asya’irah wal maturidiyah (jika disebutkan ahlussunnah, maka yang dimaksud adalah pengikut Al-Asy’ari dan Al-Maturidi).[iii]   

Istilah Ahlus sunnah wal jama’ah memang tidak pernah secara eksplisit ditemukan di dalam Al-Quran maupun Al-Hadits. Tetapi meskipun begitu, menurut sejumlah keterangan, nama Aswaja digali dari hadits Nabi tentang 73 aliran. Bahwa pada hadits tersebut Nabi menyebut kata  “ma ana ‘alaihi wa ashabii”. Redaksi sunnah diturunkan dari potongan “ma ana ‘alaih” (jalur yang aku [Nabi] tempuh, yang juga biasa disebut dengan sunnah), dan jama’ah diambilkan dari “ashabii” (jalur yang ditempuh oleh sekumpulan [jama’ah] shabat).

Secara linguistik makna  Ahlus sunnah wal jama’ah dapat ditelusuri sebagai berikut:

1.      Ahl
Menurut Fairuzabadi dalam Al-Qamus Al-Muhith, kata Ahl berarti “pemeluk aliran”. Sedangkan menurut Ibrahim Anies dalam Al-Mu’jam Al-Wasith, kata Ahl bermakna “pengikut madzhab”. Lebih jauh, dalam Dhurul Islam, Ahmad Amin menjelaskan bahwa kata Ahl merupakan badal nisbah sehingga jika dikaitkan dengan kata yang lain, misalnya kata As-sunnah, mempunyai arti orang yang berpaham Sunni alias As-Sunniyun.

2.      As-Sunnah
Dalam khazanah ilmu hadits, As-Sunnah biasanya disejajarkan pengertiannya dengan Al-Hadits. Tetapi makna harfiyah dari kata ini sebenarnya adalah At-Thariqah, atau jalan. Dengan demikian, masih menurut Amin dalam buku yang sama,  As-Sunnah  adalah jalan yang ditempuh oleh Sahabat Nabi dan Tabi’in.

3.      Al-Jama’ah
Menurut Ibrahim Anis, Al-Jama’ah berarti sekelompok orang yang memiliki tujuan. Dalam At-Tabshir fid Din wa Tamyizul Firqah An-Najiyah ‘anil Firaqil Halikin karya Al-Isfirayini ditemukan penjelasan bahwa apabila kata Al-Jama’ah dikaitkan dengan sekte-sekte Islam (Al-Madzhahib Al-Islamiyah), maka ia hanya berlaku di kalangan Ahlus Sunnah karena di kalangan Khawarij ataupun Rafidhah (Syi’ah) belum dikenal penggunaan kata Al-Jama’ah. Sementara itu, di kalangan Mu’tazilah tidak menerima Ijma’ sebagai suatu landasan hukum.[iv]

Dari eksplanasi linguistik terhadap terma Ahlus sunnah wal jama’ah di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Aswaja adalah “Madzhab yang merujuk kepada thariqah Nabi, yang kemudian dilembagakan (ditradisikan) oleh generasi Sahabat dan Tabi’in, dan yang merupakan pegangan bagi mayoritas umat Islam”.

Pemaknaan seperti ini memiliki kesejajaran dengan penjelasan para ulama’. Hadlratus Syaikh Hasyim Asy’ari, dalam Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, menjelaskan bahwa pengertian As-Sunnah menurut Syara’ adalah “jalan atau cara yang diridhai dalam menempuh agama Allah sebagaimana yang telah ditempuh oleh Rasululullah Saw atau selain beliau, yakni mereka yang memiliki otoritas sebagai panutan di dalam masalah agama, seperti para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum”. Ini didasarkan kepada hadits Nabi Saw yang berbunyi; “‘alaikum bi sunnatii, wa sunnatil  khulafa’ir rasyidina min ba’diArtinya, “Tetaplah kalian untuk berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnahnya Al-Khulafaur Rasyidin, setelahku”. 

As-Sunnah, ditinjau dari sudut ‘Urf (pemakaian secara umum), masih menurut sang Hadhratus Syaikh, berarti “pengetahuan yang menjadi jalan atau pandangan hidup yang dipegangi secara konsisten oleh tokoh yang menjadi panutan, apakah ia sebagai nabi ataupun wali”.[v]

Sementara itu, tidak berbeda dari pemaknaannya secara linguistik, Al-Jama’ah berarti kelompok mayoritas, atau yang dalam bahasa Islam disebut sebagai As-Sawad Al-A’dzam. Pemaknaan seperti ini didasarkan kepada hadits Nabi Saw yang salah satunya diriwayatkan oleh Ibnu Majah, beliau bersabda; “Inna ummati la tajtami’u ‘ala dhalalatin fa idza ra’aitumul ikhtilafa fa ‘alaikum bis sawadil a’zham”, artinya “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada keburukan, maka apabila kalian melihat gelagat perpecahan (pertentangan pendapat), berpeganglah pada as-sawad al-a’zham (kelompok mayoritas)”.[vi]

Dari sini dapat diketahui bahwa tidak semua kelompok keagamaan yang mengklaim diri sebagai  Ahlus sunnah wal jama’ah, adalah benar-benar Aswaja. Pola umum yang mendasari penyebutan Ahlus sunnah wal jama’ah setidaknya dapat kita catat di sini: “bersiteguh menjalankan ajaran Al-Kitab dan As-Sunnah, dengan menjadikan umat/kelompok terdahulu (salaf), yang terdiri dari sahabat, tabi’in dan para imam-imam pemuka (shudurul a’immah) atau yang kemudian disebut sebagai as-sawad al- A’dzam (golongan mayoritas) sebagai anutan”.

Barangkali tidak satu pun aliran-aliran keagamaan yang lahir dari rahim Islam yang tidak menisbatkan diri kepada Al-Quran dan Al-Sunnah. Khawarij mengaku sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah, begitupun Murji’ah, Syi’ah, Mu’tazilah, dan lain sebagainya. Tetapi terbukti, seperti ditegaskan oleh sejarah, aliran-aliran ini tumbang dikarenakan anomali dari dalam tubuh mereka sendiri. As-sawad al- A’dzam (mayoritas umat Islam), yang dijamin Nabi tidak akan menyeleweng itu, dan yang tentu saja tidak mungkin keluar dari arahan Al-Quran dan As-Sunnah, kemudian menegaskan pilihannya kepada paham Ahlus sunnah wal jama’ah.

Hal yang mendasari imunitas (daya tahan) keberadaan paham Ahlus sunnah wal jama’ah adalah sebagaimana dikutip oleh Said Aqil Siradj, bahwa Ahlus sunnah wal jama’ah adalah “Ahlu minhajil fikri ad-dini al-musytamili ‘ala syu’uunil hayati wa muqtadhayatiha al-qa’imi ‘ala asasit tawassuthu wat tawazzuni wat ta’adduli wat tasamuh”, atau “orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleransi”.[vii] 

Prinsip dasar yang menjadi ciri khas paham  Ahlus sunnah wal jama’ah adalah tawassuth, tawazzun wat ta’adul, dantasamuh; moderat, seimbang dan netral, serta toleran. Sikap pertengahan seperti inilah yang dinilai paling selamat, selain bahwa Allah telah menjelaskan bahwa umat Nabi Muhammad adalah ummat wasath, umat pertengahan yang adil (QS. Al-Baqarah : 143).

Prinsip dasar seperti inilah yang kemudian mengukuhkan pandangan Asy’ariyah dan Maturidiyah (paham-paham i’tiqadiyah yang dirintis oleh Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi) sebagai paham Ahlus sunnah wal jama’ah di bidang akidah. Tidak seperti pandangan Khawarij yang menerapkan nash-nash keagamaan secara tekstualistik ketat, dan bukan sama dengan Mu’tazilah yang cenderung mendewakan akal, paham Ahlus sunnah wal jama’ah (dalam hal ini direpresentasikan dalam Asy’ariyah dan Maturidiyah) menjembatani (bersikap moderat atas) keduanya.

Sebelum mengemukakan pandangan keagamaannya, Abu Hasan Al-Asy’ari adalah seorang mu’tazily (penganut Mu’tazilah). Sebelum kemudian ia bermimpi bertemu dengan Nabi Saw, dimana dalam mimpi tersebut sang Nabi bersabda: “Hai Ali (nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali Al-Asy’ari), aku tidak memerintahkanmu meninggalkan ilmu kalam, namun aku hanya menyuruhmu membela madzhab yang telah disampaikan dariku (al-madzahib al-marwiyyah ‘annii), karena itulah yang haq”. Dengan demikian, seperti Abu Hasan Al-Asy’ari sebenarnya hanya meneruskan madzhab-madzhab sebelumnya yang bersumber dari Nabi Saw.[viii] 

Tidak mengherankan apabila hampir keseluruhan imam-imam besar, seperti Al-Ghazali, Al-Mahalli, As-Suyuthi, dan lain-lain adalah sekaligus pembela Asy’ariyah. Dan berkat merekalah paham  Ahlus sunnah wal jama’ah ini sampai kepada kita sekarang.

Demikianlah pandangan Ahlus sunnah wal jama’ah pada ranah akidah. Di bidang furu’ (fiqh), ciri khas moderasi yang sama juga dicerminkan dengan baik oleh keempat imam mujtahid (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ibn Hanbal) berikut para ashhab mereka. As-sawad al-a’dzam kemudian melestarikan madzhab fiqh mereka hingga sampai kepada kita di zaman ini. Demikian pula di bidang tasawuf, moderasi ala Al-Ghazali dan Al-Junaid Al-Baghdadi dipilih.

Di sinilah kenapa taqlid (mengikuti) kepada imam-imam tersebut di atas menjadi sangat urgens. Qaul-qaul para imam ini telah disepakati oleh as-sawad al- a’dzam (golongan mayoritas), dan apabila hal ini dikaitkan dengan penjelasan Nabi tentang sifat as-sawad al- a’dzam di atas, maka secara otomatis kelompok yang paling selamat adalah mereka yang mengikuti as-sawad al- a’dzam, alias mereka yang secara akidah berkaca kepada madzhab Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi, dan secara fiqh berkiblat kepada salah satu dari madzahib arba’ah (madzhab empat).

Barangkali karena hal inilah, orang-orang dengan kapasitas intelektual yang hebat, seperti Al-Ghazali dan As-Suyuthi, yang kecerdasannya sebetulnya telah mampu mengantarkan mereka menjadi Mujtahid (penggali hukum dari nash-nya langsung), tetap memilih untuk bermadzhab secara fiqh kepada Asy-Syafi’i dan secara akidah kepada Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi.

Pendeknya, dapat disimpulkan sekarang, bahwa paham Ahlus sunnah wal jama’ah adalah pandangan Islam yang secara akidah mengikuti Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi, secara Fiqh mengikuti salah satu dari keempat Imam Madzhab yakni Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ibnu Hanbal, dan secara tasawuf mengikuti Al-Ghazali dan Al-Junaid Al-Baghdadi. Kelompok inilah yang dinilai oleh jumhur (mayoritas ulama’) sebagai mu’tabar (valid), yang melestarikan hingga sampai ke hadapan kita saat ini, laku salaful ummah yang bersumber pada Al-Quran dan As-Sunnah.

Paham Ahlus sunnah wal jama’ah sampai ke hadapan kita, umat muslim kontemporer, dengan susah payah. Sepanjang sejarah, ia dihadapkan kepada pelbagai jenis aliran, yang terbukti tidak dinukil dari as-sawad al-a’dzam.

Beberapa diantaranya muncul belakangan dengan mengumandangkan jargon yang amat menarik; kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah. Tetapi pada saat yang sama kelompok ini menolak sikap bermadzhab dan bahkan tidak jarang mengajarkan kebencian yang berlebihan kepada para imam madzhab.

Lepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah, sikap keberagamaan kelompok Ahlus sunnah wal jama’ah sangat jelas; seperti diajarkan oleh Nabi, ketika terjadi pertikaian pendapat, maka yang harus dipegang adalah pandangan as-sawad al- a’dzam. Dalam pada itu, pandangan as-sawad al-a’dzam ini terejawantah dalam wujud tradisi bermadzhab, yang secara muttashil bersambung kepada tradisi (sunnah) para salaf, dengan bukti kodifikasi paham-paham keagamaan yang rapi seperti dalam wujud al-kutub al-qadimah (kitab-kitab klasik) atau biasa disebut al-kutub as-shafra’ (kitab kuning).

Dalam pada itu, patut untuk dicatat di sini beberapa “peringatan” dari para ulama, diantaranya dalam sullamul ushul syarhu nihayatis suul, yang artinya; “Rasulullah Saw bersabda; ‘ikutilah as-sawad al-a’dzam (golongan mayoritas)’.

Dan ketika madzhab-madzhab yang benar telah punah dengan kematian para imam-imamnya kecuali empat madzhab yang pengikutnya tersebar luas, maka mengikuti empat madzhab tersebut adalah mengikuti as-sawad al- a’dzam dan keluar dari empat mazhab tersebut, berarti keluar dari as-sawad al- a’dzam”.[ix] Pun As-Syaikh Amin Al-Kurdi dalam Tanwirul Qulub menekankan, yang artinya; “dan barangsiapa yang tidak mengikuti salah satu dari mereka (imam-imam madzhab) dan berkata: ‘saya beramal berdasarkan Al-Quran dan Hadits’, serta mengaku telah mampu memahami hukum-hukum Al-Quran dan Hadits, maka orang tersebut tidak bisa diterima, bahkan termasuk orang yang bersalah, sesat dan menyesatkan, terutama pada masa sekarang ini di mana kefasikan merajalela dan banyak tersebar dakwah-dakwah yang salah, karena ia ingin mengungguli para pemimpin agama padahal ia di bawah mereka dalam ilmu, amal, keadilan dan analisis”.

Pikirkan bahwa peringatan tersebut di atas dikemukan puluhan dan bahkan ratusan tahun yang lalu. Bagaimana dengan sekarang? Wallahu a’lam bis shawab.


Daftar Bacaan
·         Said Aqil Siradj, 2008, Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis, Jakarta: Pustaka Cendikia Muda.
·         Harun Nasution, 2008, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Pres.
·         Asy-Syaikh Hasyim Asy’ari, 2006, Qanun Asasi; Risalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,terjemah oleh Zainul Hakim, Jember: Darus Sholah.
·          Al-Habib Zainal Abidin Al-‘Alawi, tt, Al-Ajwibah Al-Ghaliyah fi ‘Aqidatil Firqah An-Najiyah, Jakarta: Darul ‘ilmi wad Da’wah.
·         Sahal Mahfudh, KH. M. A. (Peng.), 2007, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Surabaya: Khalista.


[i] Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis, Jakarta: Pustaka Cendikia Muda, 2008, hlm. 6
[ii] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Pres, 2008, hlm. 65
[iii] Siradj, Op.Cit., hlm. 7
[iv] Siradj, Ibid, hlm. 5
[v] As-Syaikh Hasyim Asy’ari, Qanun Asasi; Risalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,terjemah oleh Zainul Hakim, Jember: Darus Sholah, 2006.
[vi] Al-Habib Zainal Abidin Al-‘Alawi, Al-Ajwibah Al-Ghaliyah fi ‘Aqidatil Firqah An-Najiyah, Jakarta: Darul ‘ilmi wad Da’wah, tt, hlm. 40
[vii] Siradj, Op.Cit., hlm. 8
[viii] Siradj, Ibid, hlm. 6
[ix] Sahal Mahfudh (Peng.), Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Surabaya: Khalista, 2007, hlm. 235

Tidak ada komentar:

Posting Komentar