Selasa, 18 Desember 2012

ASY-SYAIKHU FII ZAMAANIH



ASY-SYAIKHU FII ZAMAANIH



Seorang Guru Mursyid, dalam peran dan kiprahnya bagi ummat atau masyarakat, salah satunya adalah bahwa kehadirannya menjadi “jawaban” bagi setiap dan segenap pertanyaan permasalahan hidup “kekinian” pada zamannya. Bukan pada zaman sebelumnya ataupun pada zaman setelahnya. Rupanya, melalui Guru Mursyid inilah cara Allah SWT memberi karunia hidayah kepada siapa pun hamba-Nya, yang dikehendaki untuk menjadi orang baik dan selamat dunia akhirat.

Sebaik dan sesempurna bagaimanapun kebijakan seorang Guru Mursyid yang hidup pada zaman tertentu, belum tentu cocok untuk secara “mentah-mentah” diterapkan pada zaman setelahnya. Semangat, makna, nilai atau hikmah di sebalik kebijakan tersebutlah yang bisa dipetik, namun metode beserta tatacara lainnya tidaklah “applicable”. Karena hal beginilah maka kebijakan Guru Mursyid Penerus atau Pengganti, tidak mungkin sekedar “copy paste” dari Guru Mursyid sebelumnya. Guru Mursyid Penerus atau Pengganti niscaya punya “benang merah roso” yang tersendiri. Hal ini karena zaman sudah beda, ummat yang dihadapi juga beda, tantangan persoalan yang mesti dipecahkan juga beda, cara atau siasat dalam memecahkannya serta pendekatannya juga beda.

Salah satu contoh, Romo Kyai Sepuh, yakni As-Syeikh Muhammad ‘Oestman Al Ishaqi RA, pada masa ke-Mursyid-annya, sempat menyusun beberapa buah kitab yang isinya menjelaskan dan menuntun muridiin bagaimana kewajiban dan tatakrama Al Akhlaqul Karimah murid kepada Guru Mursyidnya. Salah satu kitab dimaksud ialah “Khulashoh Al Wafiyah”. Kitab tersebut kemudian dijadikan wadlifah istiqomah oleh para Imam Khususi untuk dibaca di depan para jamaah muridin saat setiap menjelang Dzikir Khususiyah.

Pada era (zaman) yang beda, Guru Mursyid Penerus, yakni Syaikh Romo KH Ahmad Asrori Al Ishaqi RA sempat Dawuh. Dawuh Beliau lebih-kurang isinya sebagai berikut: Saya paling takut jika harus membicarakan atau menjelaskan tentang apa-apa yang menyangkut kewajiban serta tatakrama atau adab murid terhadap Guru. Kenapa demikian? Karena dalam hal ini saya berada pada posisi yang “mendapat bagian”. Bagaimana saya bisa atau mampu menjaga diri atau mengendalikan nafsu saya untuk tidak terjebak pada sifat basyariyah saya?

Selanjutnya Beliau RA menjelaskan: Modal utama bagi pribadi seorang murid di dalam bertarekat itu lebih terletak pada kejujuran diri dan kesungguhan. Jika seorang murid mampu untuk jujur dan bersungguh-sungguh, maka untuk menunaikan kewajiban serta memegang tatakrama atau adab, baik terhadap Guru maupun terhadap lain-lainnya itu akan menjadi hal yang bersifat otomatis. Ketaqwaan kepada Allah, perasaan “takut” kepada Guru Mursyidnya, perasaan “gundah gelisah” di saat di hadapan Gurunya, tatakrama dan seterusnya, itu akan muncul sebagai ekspresi dari dalam nurani diri sendiri. Tatakrama yang ternampakkan secara dhohir tersebut justru hanya sebagai salah satu dari “ciri penanda” atau sekaligus sebagai “alat pembeda” antara mana murid yang jujur diri dan bersungguh-sungguh dan mana murid yang tidak. Oleh karena itu maka rasanya tidaklah terlalu pas jika tatakrama atau adab murid dikemas menjadi kewajiban yang secara dogmatis diberlakukan atau diikatkan oleh Guru kepada murid-muridnya.
Karena itu pula, barangkali, di saat dimaturi untuk cetak ulang kitab “Khulashoh Al Wafiyah” tersebut, Beliau RA mengurungkan. Selanjutnya Beliau RA justru memasukkannya menjadi bagian dari juz-juz terakhir dalam kitab yang disusunnya. Al Muntakhobat, yang lima juz itu. Sebuah kitab dengan khazanah pembahasan ilmiyah yang lengkap dan tuntas, namun sekaligus tuntunan praktis bagi para pribadi yang bersungguh-sungguh ingin mencari dan meniti jalan kebenaran yang hakiki.

Demikianlah contohnya. Contoh untuk menegaskan pesan bahwa untuk zaman yang beda - oleh Guru yang beda - maka kebijakan “roso” dan metode juga pasti beda. Tentu, contoh di atas tidaklah dimaksudkan untuk disalahpahami sebagai “membandingkan” antara yang satu dengan lainnya. Kita telah sama-sama memahami dan menyadari bahwa perilaku “membandingkan” dan/atau “menyamakan/menganggap sama” Guru yang satu dengan lainnya merupakan perilaku haram.

Karenanya, totalisme dalam ber-Guru menjadi penting terutama bagi pribadi murid yang sempat mengalami hidup dan menjalani tarekat dalam 2 masa sehingga berguru kepada 2 orang Guru Mursyid. Sangatlah naïf apabila di antara mereka, misalnya, kemudian mengatakan : Dulu, biasanya Kyai A itu seperti ini, makanya kita mestinya begini. Lha sekarang Kyai B malah berubah seperti itu. Mestinya kita kan tidak begitu. Dan seterusnya.

(Semua yang benar dari Romo KH Ahmad Asrori Al Ishaqi –Rodlia-Allaahu Anhu Wa Ardloohu Wa Nafa’anaa Bi Hii Wa Bi Uluumihii Fid-Daaroiin Aamiiin– dan yang salah dari pribadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar